Jumat, 04 Desember 2009

Gantung Koruptor : Bedakan Hukum Bisnis dan Hukum Publik (Study Kasus Bank Century) Hasil Diskusi dengan Prof. Dr. Nindyo Pramono, S.H., M.S

Menilai kesalahan orang lain adalah suatu perbuatan yang mudah dilakukan oleh siapa saja. Dengan tanpa harus belajar tentang norma atau peraturan-peraturan yang ada disekelilingnya. Paradigma berfikir seperti ini adalah cara berifikirnya orang yang tidak berpendidikan atau lebih akrabnya diistilahkan dengan orang primitive.
Budaya primitivisme ternyata masih menjalar dalam sebagian pejabat kita. Dengan tanpa memperhatikan ketentuan hukum yang berlaku,dengan dalih menyelamatkan negara maka apapun perbuatan seseorang dapat dengan mudah dianggap sebagai suatu kesalahan.
Kasus yang sekarang sudah merebak adalah tentang Century Gate. Kebanyakan orang kasus senturi ini murni pelanggaran pidana yang harus ditindak lanjuti dengan pola penerapan hukum public. Indikasi ini tercium dengan adanya kerugian yang diderita oleh negara dengan nilai triliuanan rupiah. Sudah benarkah tuduhan tersebut ?
Sebelum membahas ke kasus tersebut, sebelumnya penulis ingin mendeskripsikan suatu perumpamaan yang bisa kita cerna dengan mudah terkait dengan kasus tersebut di atas. Keuangan yang bersumber dari APBN atau APBD haruslah dipertanggungjawabkan dengan benar sesuai dengan fungsi dan tujuannya. Semisal, seorang pegawai negeri yang tiap bulannya mendapatkan gaji dari pemerintah pada suatu ketika atas kewajiban hariannya dia tidak dapat melaksanakan tugasnya seperti biasanya yang mengakibatkan proses pemerintahan di instansi tersebut terhambat. Akibat dari tidak dapat menjalankan kewajiban tersebut ada kemungkinan potensi kerugian negara yang terjadi akibat dari perbuatannya. Ditambah lagi uang negara yang dibayarkan untuk gaji bulanannya adalah diasumsikan bahwa yang bersangkutan bekerja dengan baik dalam kurun waktu satu bulan. Pertanyaan dari deskripsi ini adalah apakah perilaku sebagaimana yang tersebut diatas dikategorikan sebagai tindak pidana ? Bagaimana pola penanganannya ?
Frame lain misalnya, sebuah yayasan. Dalam undang-undang yayasan disebutkan bahwa seluruh harta kekayaan yayasan adalah milik Negara. Kalau seandainya seseorang mendirikan sebuah yayasan yang berbadan hukum untuk mengadakan proses pendidikan dan pada suatu ketika yayasan yang orang tersebut pimpin mengalami kerugian. Bagaimanakah perlakuan hukum yang akan didapatkan orang tersebut ? padahal yang namanya orang usaha pasti mungkin sesekali merugi, ditambah lagi dengan yayasan yang sudah pasti tidak berorientasi pada profit.
Berangkat dari dua deskripsi diatas harusnya ada persamaan persepsi terhadap perlakuan hukum yang harus diterima dari masing-masing pelaku pada kasus tersebut. Antara hukum publik yang digunakan dan ranah hukum bisnis yang juga harus diperhatikan.
Terkait dengan kasus century, menurut hemat penulis perlu ada penelusuran terhadap jenis dari masing-masing kesalahan yang diperbuat. Manakah yang menyalahi ketentuan dari hukum public dan manakah yang menyalahi ketentuan dari hukum bisnis. Ini yang perlu semua orang pahami.
Inti dari tulisan ini adalah, jangan sampai ada orang yang salah menerapkan ketentuan hukum yang berlaku sehingga merugikan orang lain yang dapat memperkeruh analisa kasus yang bersangkutan. Perlakukan pelaku yang melanggar secara hukum public dengan layak dan bedakan dengan orang yang melakukan kesalahan dari ketentuan hukum bisnis.

Sabtu, 28 November 2009

Menakar Nilai Rupiah dalam Penegakan Hukum di Indonesia (Sebuah Refleksi Kemanusiaan yang Berkeadilan)

Perkembangan iklim ekonomi dan usaha di Indonesia belakangan ini mengalami tren positif. Hal ini dapat diketahui dari berbagai laporan yang disampaikan oleh berbagai instansi terkait di akhir tahun 2009 ini. Kepercayaan investor (local ataupun asing) yang meningkat, daya beli masyarakat yang menunjukan grafik meningkat menjadikan modal awal untuk mendesain ketahanan perekonomian nasional untuk sedikitnya lima tahun yang akan datang.
Fokus program pemerintah dalam skala 100 hari kerja menurut pengamatan penulis belumlah terlihat dengan jelas dan terarah. Hal ini mungkin ditengarai oleh padatnya kegiatan luar negeri Presiden dan menumpuknya kasus kriminalitas beberapa lembaga negara yang menuntut perhatian serius dari pemangku jabatan paling penting di negeri ini. Sebut saja kasus yang sudah mulai redup ini, misalnya kasus “salah tangkap” pejabat KPK oleh Polri dan Mahkamah Agung (MA). Kasus pidana lainnya adalah terkait dengan mantan Menteri Kelautan yang beberapa waktu lalu telah dibebaskan dari rumah tahanan (rutan).
Ditengah maraknya kasus-kasus besar yang sedang di ekspose oleh masyarakat pers, kita melihat adanya ketimpangan terhadap proses pengadilan di Indonesia. Kalau kita menilik pada kasusnya Ibu Minah sang “Pahlawan Kakao” yang telah dijatuhi vonis 1,5 bulan penjara dan 3 bulan masa percobaan atas perilakunya mencuri 3 buah biji cokelat senilai dua ribu seratus rupiah. Putusan ini (vonis) menurut sebagian orang dianggap telah memenuhi keadilan. Alasannya adalah bahwa putusan ini dikomparasikan dengan kasusnya seorang “maling ayam”. Dan, mungkin ini sudah benar vonisnya. Namun, menurut pengamatan penulis kasus “Pahlawan Kakao” ini secara tidak langsung telah menggugah mata kita untuk melhat kembali (review) terhadap proses hukum yang berlaku di negara ini. Minah, Pahlawan Kakao memang salah secara perilaku, namun tingkat kerugian negara yang ditimbulkan dari perbuatan Minah tersebut adalah tidak seberapa jika kita membandingkannya dengan kasus Century Gate yang berpotensi merugikan keuangan negara sedikitnya Rp. 3 Triliun (masih dugaan).
Dari deskripsi kasus ini paling tidak kita dapat memberikan penilaian secara independen dan manusiawi sebagai berikut :
Pertama, bahwa ada kejanggalan terhadap penilaian seorang hakim dalam menentukan putusan sebuah kasus. Sudahkah seorang hakim memenuhi rasa keadilan, nilai manfaat dan kebenaran untuk semua pihak yang berperkara ?
Kedua, hendaknya ada kesepahaman seorang hakim dalam menakar nilai rupiah terhadap kerugian Negara yang muncul akibat dari perilaku seseorang, bukan berdasarkan pada siapa dan dari mana kasus ini berasal? Sebab jika berdasarkan pada siapa yang berkara, darimana perkara ini berasal maka secara manusiawi seorang hakim tidak bisa bertindak secara obyektif dan akan selalu terdapat perbedaan yang menyolok dalam menakar nilai rupiah terhadap penilaian kerugian negara.
Ketiga, seorang hakim atau Pemerintah hendaknya dalam mebuat suatu putusan atau perundang-undangan harus didasarkan pada ruh dari Ius Constituendum (tidak hanya ius constitutum saja yang berlaku), sehingga putusan atau peraturan yang lahir dapat menjadi referensi terhadap kasus-kasus yang pernah ada dan kasus yang kemungkinan akan ada pada periode waktu selanjutnya. Disamping itu juga dengan nilai futuristik tersebut seorang hakim atau Pemerintah akan dapat bertindak lebih bijak dan adil dalam membuat suatu putusan atau peraturan.
Pekerjaan rumah yang tidak mudah harus segera diselesaikan oleh Pemerintahan yang baru beberapa bulan ini terbentuk. Mungkinkah perbaikan dalam penegakan keadilan di Indonesia ini menjadi skala prioritas masa kepemimpin Presiden dan Kabinet Bersatu Jilid II untuk lima tahun ke depan? Layak kita tunggu untuk periode tahun berikutnya (1 tahun saja) sebagai tolok ukur dari keseriusan Pemerintah dalam berpihak kepada masyarakat khususnya di bidang hukum, sehingga diharapkan tragedy Minah si “Pahlawan Kakao” tidak terulang lagi walaupun belakangan ini potensi tersebut sudah muncul di beberapa daerah yang ada di Indonesia.
Akhirnya, selamatkan Indonesia, tegakkan keadilan dan keberpihakan secara proporsional bagi orang-orang yang layak mendapatkan perlindungan. Basmi dan hancurkan koruptor dan selector pengadilian (mafia kasus).