Sabtu, 29 Agustus 2009

Analisis Ekonomi dan Komersialisme Masyarakat

Ramadhan 1430 H telah berlangsung, persis satu bulan sebelumnya berbarengan dengan registrasi tahun ajaran baru siswa-mahasiswa. Sebentar lagi iedul Fitri dan Tahun Baru. Apa arti dari prolog ini ?
Perilaku budaya masyarakat Indonesia yang cenderung komersil, menjadikan hampir setiap investor (lokal dan asing) tertarik menanamkan modalnya di tanah air tercinta ini. Sebut saja seperti Carefoor, Indogroup, dan Telkomsel, sebagai salah satu investor besar di Indonesia. Kaitannya dengan itu semua, pola hidup yang tidak mau repot, ketatnya tuntutan kehidupan membuat masyarakat lupa bahwa perlu adanya pengaturan terhadap harga produk perusahaan terkait sehubungan dengan keterbatasan pendapatan dan banyaknya kebutuhan masyarakat yang bergantung pada produk tersebut.
Di bulan puasa ini, tingkat komersialisme masyarakat meningkat, kebutuhan pangan naik, biaya belanja bulanan membengkak, namun penghasilan tetap. Adanya kenaikan harga yang tidak terkontrol dari masing-masing item produk membuat beban masyarakat bertambah seiring dengan tuntutan dalam melunasi kebutuhan pendidikan. Periode waktu yang hampir datang bersamaan sudah tidak dapat dielakan lagi. Sebagai contoh, Saya berasumsi, seandainya ada sebuah keluarga dengan dua anak yang sama-sama mengenyam pendidikan SLTA dan PT, sedangkan orang tuanya berprofesi sebagai PNS golongan menengah dengan gaji bulanan sekitar 4 juta. Kemudian pada saat bersamaan, di tahun ajaran baru masing-masing melakukan registrasi pada tingkat pendidikannya masing-masing. Pertanyaannya, berapa uang yang harus dikeluarkan kedua orang tua tersebut untuk biaya pendidikan di awal tahun ajaran ? Cukupkah dengan hanya 2.5 juta ? bagaimana mereka menutupi kebutuhan bulanannya ? dengan merangkaknya harga kebutuhan pokok di bulan ramadhan. Cukupkah hanya dengan bermodalkan sisa 1,5 juta untuk biaya hidup satu bulan? Silahkan anda menjawab.
Ini adalah asumsi seorang pegawai dengan penghasilan tetap dan berstatus sosial cukup mapan. Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana dengan mereka (masyarakat Indonesia) yang penghasilan bulanannya hanya 2 juta dengan jumlah anggota keluarga yang sama ? Atau bagaimana nasib sebuah keluarga yang pendapatannya hanya 1 juta atau kurang dari itu ? Silahkan anda renungkan !
Maraknya kasus kriminalisme dengan berdalih kebutuhan hidup tidaklah sedikit jumlahnya. Kemiskinan yang penulis temui diberbagai pelosok pedesaan hendaklah membuka mata pemerintah dalam upaya mensejahterakan rakyatnya untuk lebih intens lagi.
Adanya program pengentasan kemiskinan yang digulirkan pemerintah, menurut pengamatan penulis bagus secara konseptual, namun tidak berdampak serius pada lapisan masyarakat bawah. Bagaimana ini bisa terjadi ? Apakah hanya sekedar tebar pesona ? Atau program yang penting bapak senang saja? Silahkan anda berpendapat.
Ini adalah masalah klasik dari tahun ke tahun yang tak berujung. Coba kita deskripsikan, dalam satu tahun setidaknya terjadi empat potensi kenaikan harga sebuah produk. Pertama, pada awal tahun baru, kedua, pada saat menjelang ramadhan atau idul fitri, ketiga, pada saat tahun ajaran baru pendidikan, dan terakhir pada saat terjadi kebijakan pemerintah yang mengharuskan untuk itu.
Bagi penulis, kontrol pemerintah terhadap kenaikan harga dirasa belum mengena pada sasaran dan baru sebatas di permukaan. Ini dibuktikan dengan berulangnya permasalahan ini dari tahun ke tahun. Pemerintah belum bisa mendesain suatu rancangan program (terkait kenaikan harga di grassrote) yang bersifat konstan dan futuristik, tidak hanya sebatas stimulasi saja yang terkesan sengaja tidak mau tahu terhadap kesulitan masyarakat dalam memenuhi haknya untuk mendapatkan pekerjaan, kesehatan, pendidikan, sandang dan pangan.
Harapan terbesar dari penulis adalah bahwa terjadi perubahan kebijakan yang signifikan sampai dengan di tingkat pasar dalam hal kontrol harga, sehingga masyarakat kelas ekonomi bawah dapat benar-benar merasakan manfaatnya. wallahu'alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar